Monday, February 14, 2011
PADa SUATU HARI....PART 9(VERSI KECEWA)
PADa SUATU HARI....PART 8
PADa SUATU HARI....PART 7
PADa SUATU HARI....PART 5
PADa SUATU HARI....PART 4
PADa SUATU HARI....PART 3
PADa SUATU HARI....PART 2
PADA SUATU HARI...PART 1
YA RASULULLAH..
MUKJIZAT RASULLULAH
- Aminah binti Wahab, ibu Muhammad pada saat mengandung Muhammad tidak pernah merasa lelah seperti wanita pada umumnya.
- Saat melahirkan Muhammad, Aminah binti Wahab tidak merasa sakit seperti wanita sewajarnya.
- Muhammad dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan.
- Pada usia 5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan ia sudah mampu berbicara dan pada usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak-anak Halimah yang lain untuk menggembala kambing.
- Halimah binti Abi-Dhua’ib, ibu susuan Muhammad dapat menyusui kembali setelah sebelumnya ia dinyatakan telah kering susunya. Halimah dan suaminya pada awalnya menolak Muhammad karena yatim. Namun, karena alasan ia tidak ingin dicemooh Bani Sa’d, ia menerima Muhammad. Selama dengan Halimah, Muhammad hidup nomaden bersama Bani Sa’d di gurun Arab selama empat tahun.
- Abdul Muthalib, kakek Muhammad menuturkan bahwa berhala yang ada di Ka’bah tiba-tiba terjatuh dalam keadaan bersujud saat kelahiran Muhammad. Ia juga menuturkan bahwa ia mendengar dinding Ka’bah berbicara, “Nabi yang dipilih telah lahir, yang akan menghancurkan orang-orang kafir, dan membersihkan dariku dari beberapa patung berhala ini, kemudian memerintahkan untuknya kepada Zat Yang Merajai Seluruh Alam Ini.”
- Dikisahkan saat Muhammad berusia empat tahun, ia pernah dibedah perutnya oleh dua orang berbaju putih yang terakhir diketahui sebagai malaikat. Peristiwa itu terjadi di ketika Muhammad sedang bermain dengan anak-anak Bani Sa’d dari suku Badui. Setelah kejadian itu, Muhammad dikembalikan oleh Halimah kepada Aminah. Sirah Nabawiyyah, memberikan gambaran detai bahwa kedua orang itu, “membelah dadanya, mengambil jantungnya, dan membukanya untuk mengelurkan darah kotor darinya. Lalu mereka mencuci jantung dan dadanya dengan salju.” Peristiwa seperti itu juga terulang 50 tahun kemudian saat Muhammad diisra’kan ke Yerusalem lalu ke Sidratul Muntaha dari Mekkah.
- Dikisahkan pula pada masa kecil Muhammad, ia telah dibimbing oleh Allah. Hal itu mulai tampak setelah ibu dan kakeknya meninggal. Dikisahkan bahwa Muhammad pernah diajak untuk menghadiri pesta dalam tradisi Jahiliyah, namun dalam perjalanan ke pesta ia merasa lelah dan tidur di jalan sehingga ia tidak mengikuti pesta tersebut.
- Pendeta Bahira menuturkan bahwa ia melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad. Muhammad saat itu berusia 12 tahun sedang beristirahat di wilayah Bushra dari perjalannya untuk berdagang bersama Abu Thalib ke Syiria. Pendeta Bahira menceritakan bahwa kedatangan Muhammad saat itu diiringi dengan gumpalan awan yang menutupinya dari cahaya matahari. Ia juga sempat berdialog dengan Muhammad dan menyaksikan adanya sebuah “stempel kenabian” (tanda kenabian) di kulit punggungnya.
- Mukjizat lain adalah Muhammad pernah memperpendek perjalanan. Kisah ini terjadi saat pulang dari Syiria. Muhammad diperintahkan Maisarah membawakan suratnya kepada Khadijah saat perjalanan masih 7 hari dari Mekkah. Namun, Muhammad sudah sampai di rumah Khadijah tidak sampai satu hari. Dalam kitab as-Sab’iyyatun fi Mawadhil Bariyyat, Allah memerintahkan pada malaikat Jibril, Mikail, dan mendung untuk membantu Muhammad. Jibril diperintahkan untuk melipat tanah yang dilalui unta Muhammad dan menjaga sisi kanannya sedangkan Mikail diperintahkan menjaga di sisi kirinya dan mendung diperintahkan menaungi Muhammad.
- Tatapan mata yang menggetarkan Ghaurats bin Harits, yaitu seorang musuh yang sedang menghunus pedang kearah leher Muhammad.
- Menjadikan tangan Abu Jahal kaku.
- Jin yang bernama Muhayr bin Habbar membantu dakwah Muhammad, kemudian jin itu diganti namanya menjadi Abdullah bin Abhar.
- Menghilang saat akan dibunuh oleh utusan Amr bin at-Thufail dan Ibad bin Qays utusan dari Bani Amr pada tahun 9 Hijriah atau Tahun Utusan.
- Menghilang saat akan dilempari batu oleh Ummu Jamil, bibi Muhammad ketika ia duduk di sekitar Ka’bah dengan Abu Bakar.
- Menghilang saat akan dibunuh Abu Jahal dimana saat itu ia sedang shalat.
- Menidurkan 10 pemuda Mekkah yang berencana membunuhnya dengan taburan pasir.
- Seekor srigala berbicara kepada Muhammad.
- Berbicara dengan unta yang lari dari pemiliknya yang menyebabkan masyarakatnya meninggalkan shalat Isya’.
- Berbicara dengan unta pembawa hadiah raja Habib bin Malik untuk membuktikan bahwa hadiah tersebut bukan untuk Abu Jahal melainkan untuk Muhammad.
- Mengusap kantung susu seekor kambing untuk mengeluarkan susunya yang telah habis.
- Dua Sahabat Nabi saw dibimbing oleh cahaya.
- Mimbar menangis setelah mendengar bacaan ayat-ayat Allah.
- Pohon kurma dapat berbuah dengan seketika.
- Batang pohon kurma meratap kepada Muhammad.
- Pohon menjadi saksi dan dibuat berbicara kepada Muhammad.
- Berhala-berhala runtuh dengan hanya ditunjuk oleh Muhammad.
- Mendatangkan hujan dan meredakan banjir saat musim kemarau tahun 6 Hijriah di Madinah yang saat itu mengalami kekeringan.
- Berbicara dengan gunung untuk mengelurkan air bagi Uqa’il bin Abi Thalib yang kehausan.
- Berbicara dengan gilingan tepung Fatimah yang takut dijadikan batu-batu neraka.
- Merubah emas hadiah raja Habib bin Malik menjadi pasir di gunung Abi Qubaisy.
- Memerintahkan gilingan tepung untuk berputar dengan sendirinya.
- Tubuh Muhammad memancarkan petir ketika hendak di bunuh oleh Syaibah bin ‘Utsman pda Perang Hunain.
- Makanan yang di makan oleh Muhammad mengagungkan Nama Allah.
- Makanan sedikit yang bisa dimakan sebanyak 800 orang pada Perang Khandaq.
- Roti sedikit cukup untuk orang banyak.
- Sepotong hati kambing cukup untuk 130 orang.
- Makanan yang dimakan tidak berkurang justru bertambah tiga kali lipat.
- Menjadikan beras merah sebanyak setengah kwintal yang diberikan kepada orang Badui Arab tetap utuh tidak berkurang selama berhari-hari.
- Menjadikan minyak samin Ummu Malik tetap utuh tidak berkurang walau telah diberikan kepada Muhammad.
- Air memancar dari sela-sela jari. Kemudian air itu untuk berwudhu 300 orang sahabat hanya dengan semangkuk air.
- Susu dan kencing unta bisa menyembuhkan penyakit atas ijin Allah.
- Menyembuhkan betis Ibnu Al-Hakam yang terputus pada Perang Badar, kemudian Muhammad meniupnya, lalu sembuh seketika tanpa meresakan sakit sedikit pun.
- Mata Qatadah terluka pada Perang Uhud, sehingga jatuh dari kelopaknya, kemudian oleh Muhammad mata tersebut dimasukkan kembali dan menjadi lebih indah dari sebelumnya.
- Mendo’akan untuk menumbuhkan gigi salah seorang sahabatnya bernama Sabiqah yang rontok sewaktu perang.
- Mendo’akan Anas bin Malik dengan banyak harta dan anak.
- Menyembuhkan daya ingat Abu Hurayrah yang pelupa.
- Menyembuhkan penyakit mata Ali bin Abi Thalib saat pemilihan pembawa bendera pemimpin dalam perang Khaibar.
- Menyembuhkan luka gigitan ular yang diderita Abu Bakar dengan ludahnya saat bersembunyi di Gua Tsur dari pengejaran penduduk Mekah.
- Menyembuhkan tangan wanita yang lumpuh dengan tongkatnya.
- Menyambung tangan Badui yang putus yang dipotongnya sendiri setelah menampar Muhammad.
- Mendoakan supaya Kerajaan Kisra hancur, kemudian do’a tersebut dikabulkan.
- Mendoakan Ibnu Abbas menjadi orang yang faqih dalam agama Islam.
- Mengetahui siksa kubur dua orang dalam makam yang dilewatinya karena dua orang tersebut selalu shalat dalam keadaan kotor karena kencingnya selalu mengenai pakaian shalat.
- Mengetahui ada seorang Yahudi yang sedang disiksa dalam kuburnya.
- Meramalkan seorang istrinya ada yang akan menunggangi unta merah, dan disekitarnya ada banyak anjing yang menggonggong dan orang tewas. Hal itu terbukti pada Aisyah pada saat Perang Jamal di wilayah Hawwab yang mengalami kejadian yang diramalkan Muhammad.
- Meramalkan istrinya yang paling rajin bersedekah akan meninggal tidak lama setelahnya dan terbukti dengan meninggalnya Zainab yang dikenal rajin bersedekah tidak lama setelah kematian Muhammad.
- Meramalkan Abdullah bin Abbas akan menjadi “bapak para khalifah” yang terbukti pada keturunah Abdullah bin Abbas yang menjadi raja-raja kekhalifahan Abbasiyah selama 500 tahun.
- Meramalkan umatnya akan terpecah belah menjadi 73 golongan.
- Membelah bulan dua kali untuk membuktikan kenabiannya pada penduduk Mekkah.
- Isra ke Masjidil Aqsa dari Masjidil Haram lalu Mi’raj ke Sidratul Muntaha dari Baitul Maqdis tidak sampai satu malam pada tanggal 27 Rajab tahun 11 Hijriah.
- Menerima Al-Qur’an sebagai Firman Tuhan terakhir padahal ia seorang yang buta huruf.
sifat INTEGRITI RASULLULAH
Pada prinsipnya setiap manusia adalah pemimpin. Pemimpin yang berjaya adalah seseorang yang mengetuai dirinya sendiri, keluarga, organisasi atau pertubuhan, meneraju membuat perubahan ke arah mencapai matlamat yang ditentukan. Tanggungjawab ini bukan mudah kerana banyak cabaran dan ujian yang akan dihadapi.
Peranan penting seorang pemimpin ini pernah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabda baginda yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Mafhumnya: “Ingatlah! Setiap orang daripada kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnya”.
Rasulullah SAW adalah pemimpin yang memenuhi fitrah manusia sejagat melalui sifat-sifat mulia seperti amanah, siddiq, tabligh dan fatanah. Menurut sirah, sebelum dari kerasulannya pemimpin Quraish pernah memberi gelaran ‘al-Amin’ kerana ketinggian sifat integriti dan akauntabiliti baginda dalam memberi perkhidmatan cemerlang kepada masyarakat. Gelaran ‘al-Amin’ ini telah membangkitkan rasa kasih sayang berterusan sebahagian besar masyarakat Quraish kepada Rasulullah SAW.
Walau bagaimanapun cabaran yang dihadapi oleh baginda juga cukup hebat. Mithalnya Abu Jahal seorang pemimpin kanan Quraish, pernah menawarkan jawatan Raja, perempuan cantik, dan harta kekayaan, supaya Rasulullah SAW tidak meneruskan perjuangan Islam. Namun, berdasarkan kekuatan integriti dan maruah kepimpinan Islam, maka Rasulullah SAW menolak semua tawaran itu.
Selain Abu Jahal, al-Qur’an juga menyebut beberapa watak kepimpinan korup yang tidak berintegriti sehingga merosakkan negara, memecah belahkan masyarakat, dan kesengsaraan kepada keluarga, yang akhirnya semasa di dunia lagi telah menerima balasan azab terhadap kekejaman yang dilakukannya. Watak itu ialah Fir’aun, Haman, dan Qarun.
Dr Sheikh Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahawa Fir’aun adalah pemerintah diktator, mempunyai bidang kuasa mutlak menghukum musuhnya sesuka hati dan mendakwa dirinya tuhan kerana meyakini tidak ada kuasa lain boleh menggugat pemerintahannya; Haman pula seorang yang sentiasa berlegar mengelilingi Fir’aun menjalankan tugas ampu-mengampu untuk memperkukuhkan kekuasaan Fir’aun; manakala Qarun pula seorang tokoh korporat yang mengambil manfaat daripada pemerintah. Dia membantu pemerintah dengan kewangannya dengan harapan akan mengaut habuan lebih besar tanpa mempedulikan penderitaan orang lain.
Setiap kali kita solat, kita sering membaca al-Qur’an, takbir, tasbih, syahadah dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Semua ini adalah agenda Islam untuk mengukuhkan integriti umat Islam selari dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika solat dan ibadah khusus lain yang dilaksanakan dari masa ke masa gagal membentuk kita menjadi pemimpin yang jujur, amanah, telus atau berintegriti, maka kita tergolong daripada manusia yang rugi.
Integriti seorang pemimpin berkait rapat dengan imej agama Islam dan nasib keluarga serta umatnya di dunia hingga akhirat. Lihat sahaja bukti kepimpinan Rasulullah SAW yang mengasihi umatnya, sehinggakan di waktu sakaratulmaut pun baginda masih terkenang mengenai nasib umatnya di dunia ini dengan keluhan yang berat. Berulang kali baginda menyebut umatku! umatku! umatku!.
Apa yang tidak terjangkau oleh fikiran kita ialah integriti kepimpinan Rasulullah SAW membawa sehingga terselamatnya umat Islam dari azab Allah SWT sebagaimana sabda baginda yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
“Kita (umat Muhammad) adalah yang terakhir (datang ke dunia) tetapi yang terdahulu (diadili) pada hari kiamat. Kita adalah yang paling dahulu masuk syurga, padahal mereka diberi kitab lebih dahulu daripada kita sedangkan kita sesudah mereka”.
Kepimpinan yang berintegriti dalam keluarga dan masyarakat mencerminkan suasana kepimpinan yang cemerlang. Ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 124:
Maksudnya: “Dan (ingatlah), ketika Nabi Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa Kalimah (suruhan dan larangan), maka Nabi Ibrahim pun menyempurnakannya. (Setelah itu) Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku melantikmu menjadi imam (Pemimpin ikutan) bagi umat manusia”. Nabi Ibrahim pun memohon dengan berkata: “(Ya Tuhanku!) Jadikanlah juga (apalah jua kiranya) dari keturunanku (pemimpin-pemimpin ikutan)”. Allah berfirman: “(Permohonanmu diterima, tetapi) janjiKu ini tidak akan didapati.”
Apa yang jelas, terdapat dua perkara asas dalam ayat tadi. Pertama, kepimpinan bukan sekadar perjanjian antara pemimpin dengan masyarakat, tetapi ia juga merupakan ikatan perjanjian antara pemimpin dengan Allah SWT. Kedua, kepimpinan hendaklah mementingkan keadilan dalam melaksanakan sesuatu tanggungjawab.
Ketinggian akhlak dan integriti Rasulullah SAW terus dikagumi umat Islam walaupun baginda telah lama wafat. Keadaan ini telah menimbulkan rasa tidak senang hati di kalangan golongan tertentu sehingga sanggup menyebarkan fitnah kepada Rasulullah SAW dan umat Islam.
Marilah kita hadir bersama keluarga ke sambutan Maulidur Rasulullah SAW bagi menyemarakkan rasa kasih sayang kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW sebagai bukti mempertahankan martabat Rasulullah SAW. Pada masa yang sama, semua pihak hendaklah menginsafi diri dengan mempertingkatkan kualiti jati diri dan integriti yang telah dicontohi Rasulullah SAW dan para sahabat melalui langkah berikut:
- Memantapkan urus tadbir negara, masyarakat, dan keluarga berpandukan syariat Islam,
- Menjauhi daripada mencontohi watak tokoh pemimpin yang korup,
- Mereka yang tiada integriti dan akauntabiliti walaupun terlepas hukuman di dunia tetapi tidak terlepas daripada hukuman Allah s.w.t pada hari akhirat, dan
- Pemimpin yang berintegriti akan lebih dihormati, dikagumi dan disayangi oleh keluarga dan masyarakat.
Firman Allah SWT dalam surah al-Saff ayat 2-3:
Maksudnya: ” Wahai orang yang beriman! Mengapa kamu memperkatakan apa yang kamu tidak melakukannya!. Amat besar kebenciannya di sisi Allah bahawa kamu memperkatakan sesuatu yang kamu tidak lakukannya. ”
Sumber : Jabatan Kemajuan Islam Malaysia
TABIK SETAN
Anda pernah dengar tabik setan? Mungkin anda tidak menyedari selama ini kita atau kawan-kawan kita pernah melakukan ini? Lihat di bawah...
Kalau tak faham, bukalah kamus ye...Tapi, inilah antara gambaran tabik setan yang biasa dilakukan oleh orang-orang kita, sedihnya..
Horned Hand The sign of recognition between those in the Occult. When pointed at someone it is meant to place a curse. Note the thumb over the fingers and given by the left hand.
Witch Sign or Moon Sign Used to salute the rising moon. Also used by surfers and football teams. This is the sign that the furor should be using to indicate the "Hook Um" horns, Not the 2 above
Anton LaVey, leader and founder of the Church of Satan .
Above: Anton LaVey, founder of the Church of Satan and author of The Satanic Bible, displaying the "Horned Hand" (also called the "satanic salute" and Il Cornuto) with his left hand, on the back cover of The Satanic Bible.
A Satanic Ritual
Above: (Satanists making the "Satanic salute" to an altar displaying the Goat of Mendes or Baphomet, to acknowledge their allegiance to Satan, during a Satanic ritual.)
Above, from the Satanic Bible: The ‘Satanic Salute’, Horned Hand or The Mano Cornuto is a signal of allegiance between members of Satanism to their ‘horned god’, a sign of recognition and allegiance.
Lihat gambar orang-orang kita, aduhai apa nak jadi...Itulah lumrah manusia, suka ikut apa orang lain buat tanpa mengetahui maksud di sebalik perbuatan tersebut...
SIFAT NABI MUHAMMAD S.W.A
Hadits yang pertama menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah saw sedang berbincang-bincang dengan para sahabatnya, seorang pemuda datang mendekati Rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.” Lalu Rasulullah saw berkata: “Kalau begitu, bunuh bapakmu!” Pemuda itu pergi untuk melaksanakan perintah Nabi. Kemudian Nabi memanggilnya kembali seraya berkata, “Aku tidak diutus untuk menyuruh orang berbuat dosa.” Aku hanya ingin tahu, apa betul kamu mencintai aku dengan kecintaan yang sesungguhnya?”
Tidak lama setelah itu, pemuda ini jatuh sakit dan pingsan. Rasulullah saw datang menjenguknya. Namun pemuda itu masih dalam keadaan tidak sadar. Nabi berkata, “Nanti kalau anak muda ini bangun, beritahu aku.” Rasululah saw kemudian kembali ke tempatnya. Lewat tengah malam pemuda itu bangun. Yang pertama kali ia tanyakan ialah apakah Rasulullah saw telah berkunjung kepadanya. Diceritakanlah kepada pemuda itu bahwa Rasulullah saw bukan saja berkunjung, tapi beliau juga berpesan agar diberitahu jika pemuda itu bangun. Pemuda itu berkata, “Tidak, jangan beritahukan Rasulullah saw. Bila Rasulullah harus pergi pada malam seperti ini, aku kuatir orang-orang Yahudi akan mengganggunya di perjalanan.” Segera setelah itu, pemuda itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Pagi hari usai shalat subuh, Rasulullah saw diberitahu tentang kematian pemuda itu. Rasul datang melayat jenazah pemuda itu dan berdo’a dengan do’a yang pendek tetapi sangat menyentuh hati, “Ya Allah, sambutlah Thalhah di sisi-Mu, Thalhah tersenyum kepada-Mu dan Engkau tersenyum kepadanya.”
Dengan hal itu Nabi menggambarkan kepada kita, bahwa orang yang mencintainya akan dido’akan oleh Nabi untuk berjumpa dengan Allah swt. Allah akan ridha kepadanya dan dia ridha kepada Allah, Radhiyyatan Mardhiyyah. Dia tersenyum melihat Allah dan Allah tersenyum melihatnya.
Hadits yang kedua mengisahkan seorang pedagang minyak goreng di Madinah. Setiap kali dia hendak pergi, termasuk pergi ke pasar, dia selalu melewati rumah Rasulullah saw. Dia selalu singgah di tempat itu sampai dia puas memandang wajah Rasul. Setelah itu ia pergi ke pasar. Suatu saatetelah melepaskan rindunya kepada Rasul, seperti biasanya ia pergi ke pasar. Tapi tidak berapa lama setelah itu, dia datang lagi. Nabi terkejut sehingga bertanya, “Kenapa kau balik lagi?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, setelah saya sampai di pasar hati saya gelisah. Saya ingin kembali lagi. Izinkan saya memandang Engkau sebentar saja untuk memuaskan kerinduan saya.” Kemudian Rasul berbincang-bincang dengan orang itu.
Tidak lama setelah itu Nabi tidak lagi melihat tukang minyak itu lewat di depan rumahnya. Berhari-hari orang itu tidak lagi kelihatan batang hidungnya di depan Rasulullah saw. Lalu Rasul mengajak sahabat-sahabatnya untuk menjenguk dia. Berangkatlah mereka ke pasar dan mendapat kabar bahwa orang itu telah meninggal dunia. Rupanya pertemuan sampai dua kali waktu itu merupakan isyarat bahwa dia tidak bisa lagi memandang wajah Rasulullah saw.
Rasul bertanya kepada orang-orang di pasar, “Bagaimana akhlak orang itu?” Mereka berkata, “Orang itu pedagang yang sangat jujur. Cuma ada sedikit saja, orang ini senang perempuan.” Kemudian Rasul berkata, “Sekiranya orang itu dalam dagangnya agak lancung sedikit, Allah akan mengampuni dosanya karena kecintaannya kepadaku.” Tetapi orang itu sangat jujur dan kecintaannya kepada Rasul dibuktikan dalam kejujurannya di dalam berdagang.
Dua hadits di atas menceritakan kepada kita tentang pentingnya mencintai Rasulullah saw. Sudah sering kita mendengar hadits yang berbunyi, “Belum beriman kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada dirimu, anak-anakmu, dan seluruh ummat manusia.”
Kita semua diperintahkan mencintai Rasulullah saw. Mencintai Rasul merupakan bagian dari seluruh bangunan keislaman kita. Oleh karena itu, dahulu para ulama melakukan berbagai cara agar kecintaan kepada Nabi terus-menerus dibangkitkan. Di antaranya dengan menghias majelis-majelis mereka dengan bacaan shalawat, mengadakan peringatan maulid, dan mengungkapkan kecintaan mereka dengan puisi-puisi, sehingga sepanjang sejarah sudah terkumpul ribuan puisi yang ditulis untuk mengungkapkan kecintaan kepada Rasululah saw.
Beberapa waktu yang lalu di masjid Asy-Syifâ, Universitas Diponegoro, saya mengajak semua orang untuk kembali membangkitkan kecintaan kepada junjungan kita Rasulullah saw. Ada orang yang bertanya kepada saya: “Saya ingin mencintai Rasulullah, tapi apa yang harus saya lakukan supaya kecintaan itu tertanam di dalam hati saya. Kalau saya ini mencintai seorang perempuan, saya bayangkan wajahnya, rambutnya, dan bibirnya supaya tumbuh kerinduan saya kepada perempuan itu. Apakah saya harus membayangkan wajah Rasululah saw, supaya saya bisa men-cintainya?” Waktu itu saya menjawab: “Inilah bencana paling besar yang menimpa kita sekarang ini. Kita hanya bisa mencintai sesuatu yang bisa dilihat, diraba, dan disaksikan. Kita ini sama dengan orang-orang kafir yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Mereka hanya mencintai yang zhahir saja, mata mereka tidak dapat menembus hal-hal yang bathiniyah.
Jadi, kalau kita mau mencintai, maka cinta kita hanya cinta fisikal saja, cinta yang sensual. Kita tidak dididik untuk mencintai orang bukan karena tubuhnya. Di dalam ilmu percintaan, cinta karena tubuh adalah tahapan cinta yang paling rendah. Para ahli jiwa mengatakan, cinta pertama pada anak-anak adalah cinta pada sesuatu yang bisa dilihat. Menurut Sigmund Freud, pertama kali seseorang mencintai ialah ketika dia merasakan kenikmatan pada waktu menyusu kepada ibunya. Itulah cinta yang paling rendah. Makin dewasa orang itu, makin abstrak atau makin tidak kelihatan cintanya. Sayang, tampaknya kedewasaan kita ini lambat.
Salah satu ciri ketidakdewasaan kita adalah bila kita mencintai sesuatu, itu dikarenakan oleh hal-hal yang kongkret dan bisa dilihat. Kita cinta kepada gunung, karena kehijauannya yang bisa dilihat dan kesejukkan anginnya yang bisa dirasakan. Bukan karena keanggunannya dan misteri yang ada dibalik gunung itu. Kalau kita menceritakan laut, yang kita ceritakan adalah gelombangnya, batu-batu karangnya, dan ikan-ikannya. Tidak kita ceritakan keluasan samudera itu, kedahsyatannya, dan pengaruhnya kepada jiwa kita. Sebab, semua hal itu terlalu abstrak dan kita terbiasa dengan hal-hal yang kongkret.
Ketika Pemilu, kita memilih partai bukan program-programnya. Karena program bersifat abstrak, tidak kelihatan. Kita jugamemilih bukan karena perilaku para politisinya, karena perilaku itu tidak kelihatan.
Tapi saya tidak akan menceritakan hal itu, saya akan membawa Anda mencintai Rasulullah saw dengan kecintaan yang lebih tinggi tingkatnya. Bukan kecintaan fisikal atau jasmaniah. Kecintaan jasmaniah itu adalah kecintaan ala ABG, yang tidak layak buat orang-orang dewasa seperti kita.
Kalau kita buka ayat Al-Qur’an, ketika Allah berkisah tentang Rasulullah saw, tidak pernah diceritakan sifat-sifat jasmaniah Rasulullah saw. Al-Qur’an selalu menceritakan sifat-sifat ruhaniah Rasulullah saw. Bercerita tentang akhlak Rasulullah saw, bukan penampilan fisiknya.
Berbeda dengan para sahabat. Kalau sahabat bercerita tentang Rasulullah saw sering berupa penampilan fisiknya. Misalnya diceritakan bahwa Rasul itu kalau tertawa sampai kelihatan gusinya. Atau diceritakan tentang tetesan keringat Rasul. Siti Aisyah pernah terpesona dengan tetesan keringat di dahi Rasul, sampai dia berkata: “Ya Rasulullah, ingin saya bacakan sebuah puisi kepadamu.” Lalu Siti Aisyah menuliskan puisinya dengan mengutip syair seorang Arab tentang tetesan keringatnya. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Siti Aisyah hanya mencintai Rasulullah saw karena jasmaninya.
Saya ingin mengetengahkan satu ayat Al-Qur’an. Ada riwayat yang agak lucu tentang ayat ini. Katanya setelah Al-Qur’an terkumpul dan tertulis pada zaman Abu Bakar, seseorang berkata bahwa ada satu ayat yang hilang. Pada waktu itu, seseorang yang mengumpul-kan ayat harus membawa saksi satu orang. Sehingga jumlah pengumpul ayat ada dua orang. Seseorang berbicara, “Ada yang terlewat, satu ayat belum masuk ke situ.” Dia hanya seorang diri, tidak mempunyai saksi. Namanya Khuzaimah bin Tsabit. Lalu orang-orang berkata, “Kesaksian Khuzaimah bin Tsabit dihitung menjadi dua, karena hanya dia yang mengetahui ayat Al-Qur’an ini.”
Lepas dari persoalan hadits ini shahih atu tidak, ayat itu bercerita tentang akhlak Rasullullah saw dan ayat itu sering menjadi wirid kita semua. Mungkin ini juga merupakan cara agar kita mampu memasukkan akhlak itu dalam kehidupan kita. Ayat itu berbunyi, “Laqad Jâ’akum Rasûlum Min Anfusikum…” (QS Al-Taubah 128). Menurut Fakhrur Râzi, kata anfusikum menurut qira’at nabi saw, qira’at Fatimah as, dan qira’at Aisyah dari Ibnu Abbas as harus dibaca Anfasikum. Dibacanya difathahkan bukan didhammahkan. Hal ini akan kita ceritakan kemudian.
Fakhrur Razi menjelaskan ada empat sifat Nabi yang tergambar dalam Surat At-Taubah ayat 128. Pertama, Min Anfusikum, dari kalanganmu sendiri. Nabi berasal dari sesama manusia seperti kamu. Nabi yang datang itu bukanlah Nabi yang datang sebagai makhluk ghaib, bukan pula Superman, tapi Nabi yang datang dari tengah-tengah manusia. Bahkan Nabi diperintahkan untuk berkata bahwa Nabi adalah manusia seperti kita semua, seperti dalam ayat “Qul innamâ anâ basyârum mitslukum…” (QS. Al-Kahfi 110) Nabi adalah manusia biasa. Kalau ia berjalan, ada bayang-bayang badannya. Kalau terkena panas matahari, berkeringat kulitnya. Kalau terkena anak panah, berdarah tubuhnya. Ia bukan manusia istimewa dari segi jasmaniahnya, ia pun merasakan lapar dan dahaga. Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan Nabi itu sama seperti kehidupan manusia biasa. Nabi dapat merasakan kepedihan dan penderitaan seperti manusia biasa yang mendapatkan musibah.
Dalam qira’at Min Anfasikum, diterangkan bahwa kata Anfas mengandung arti yang paling mulia. Jadi ayat ini berarti, “Sudah datang di antara kamu seorang Rasul yang paling mulia.” Artinya Rasulullah diakui kemuliaannya, bahkan sebelum Rasul membawa ajaran Islam. Dia adalah orang yang paling baik di tengah-tengah masyarakatnya dilihat dari segi akhlaknya. Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa Rasul berasal dari kabilah yang paling baik. Jadi sifat pertama nabi adalah paling mulia akhlaknya, sampai orang-orang di sekitarnya memberi gelar Al-Amîn, orang yang terpercaya.
Sifat kedua Nabi ialah, berat hatinya melihat penderitaan umat manusia. Para ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan berat hati Nabi ialah kalau manusia menemukan hal-hal yang tidak enak. Dalam riwayat yang lain, yang diartikan dengan berat hati Rasul ialah jika orang Islam berbuat dosa kepada Allah. Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa sampai sekarang Rasulullah masih dapat melihat perbuatan-perbuatan kita dan Rasul akan menderita jika melihat kita berbuat dosa. Karena beliau sangat ingin supaya kita memperoleh petunjuk Allah. Bahkan Rasul sampai bersujud di hadapan Allah agar diizinkan untuk dapat memberi syafaat kepada umatnya.
Jalaluddin Rumi bercerita dalam salah satu syairnya yang dibukukan dalam Al-Matsnawi tentang Rasulullah saw. Pada suatu hari di mesjid, Rasul kedatangan serombongan kafir yang meminta untuk bertamu. Mereka berkata, “Kami ini datang dari jarak yang jauh, kami ingin bertamu kepada Engkau, Ya Rasulullah.” Lalu Rasul mengantarkan para tamu tersebut kepada para sahabatnya. Salah seorang kafir yang bertubuh besar seperti raksasa tertinggal di mesjid, karena tidak ada seorang sahabat pun yang mau menerimanya. Dalam syair itu disebutkan, ia tertinggal di mesjid seperti tertinggalnya ampas di dalam gelas. Mungkin para sahabat takut menjamu dia, karena membayangkan harus menyediakan wadah yang sangat besar.
Lalu Rasul membawa dan menempatkannya di sebuah rumah. Dia diberi jamuan susu dengan mendatangkan tiga ekor kambing dan seluruh susu itu habis diminumnya. Dia juga menghabiskan makanan untuk delapan belas orang, sampai orang yang ditugaskan melayani dia jengkel. Akhirnya petugas itu menguncinya di dalam. Tengah malam, orang kafir itu menderita sakit perut. Dia hendak membuka pintu tapi pintu itu terkunci. Ketika rasa sakit tidak tertahankan lagi, akhirnya orang itu mengeluarkan kotoran di rumah itu.
Setelah itu, ia merasa malu dan terhina. Seluruh perasaan bergolak dalam pikirannya. Dia menunggu sampai menjelang subuh dan berharap ada orang yang akan membukakan pintu. Pada saat subuh dia mendengar pintu itu terbuka, segera saja dia lari keluar. Yang membuka pintu itu adalah Rasulullah saw.
Rasul tahu apa yang terjadi kepada orang kafir itu. Ketika Rasul membuka pintu itu, Rasul sengaja bersembunyi agar orang kafir itu tidak merasa malu untuk meninggalkan tempat tersebut.
Ketika orang kafir itu sudah pergi jauh, dia teringat bahwa azimatnya tertinggal di rumah itu. Jalaluddin Rumi berkata, “Kerasukan mengalahkan rasa malunya. Keinginan untuk memperoleh barang yang berharga menghilangkan rasa malunya.” Akhirnya dia kembali ke rumah itu.
Sementara itu, seorang sahabat membawa tikar yang dikotori oleh orang kafir itu kepada Rasul, “Ya Rasulullah, lihat apa yang dilakukan oleh orang kafir itu!” Kemudian Rasul berkata, “Ambilkan wadah, biar aku bersihkan.” Para sahabat meloncat dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau adalah Sayyidul Anâm. Tanpa engkau tidak akan diciptakan seluruh alam semesta ini. Biarlah kami yang membersihkan kotoran ini. Tidak layak tangan yang mulia seperti tanganmu membersihkan kotoran ini.” “Tidak,” kata Rasul, “ini adalah kehormatan bagiku.” Para sahabat berkata, “Wahai Nabi yang namanya dijadikan sumpah kehormatan oleh Allah, kami ini diciptakan untuk berkhidmat kepadamu. Kalau engkau melakukan ini, maka apalah artinya kami ini.”
Begitu orang kafir itu datang ke tempat itu, dia melihat tangan Rasulullah saw yang mulia sedang membersihkan kotoran yang ditinggalkannya. Orang kafir tidak sanggup menahan emosinya. Ia memukul-mukul kepalanya sambil berkata, “Hai kepala yang tidak memiliki pengetahuan.” Dia memukul-mukul dadanya sambil berkata, “Hai hati yang tidak pernah memperoleh berkas cahaya.” Dia bergetar ketakutan menahan rasa malu yang luar biasa. Kemudi-an Rasul menepuk bahunya menenangkan dia. Singkat cerita, orang kafir itu masuk Islam.
Boleh jadi cerita Jalaluddin Rumi ini adalah sebuah metafora. Suatu perlambang bahwa kedatangan Rasul adalah untuk membersihkan kotoran dan noda-noda yang ada pada diri kita. Betapa banyaknya kaum muslimin menodai rumah Rasul dengan kemaksiatan dan akhlak yang buruk. Kita ini sama dengan orang kafir yang menaburkan kotoran di rumah Rasul yang suci. Bedanya ialah, kita percaya karena kecintaan Nabi kepada kita, Rasul akan mengulurkan syafaatnya kepada kita. Derita kita adalah juga derita Rasul. Karena itu, jangan ragu-ragu untuk datang meminta syafaatnya dan bersimpuh di hadapan Nabi sambil mengucapkan, “Yâ Abal Qâsim, Yâ Rasûlallâh, Yâ Wajîhan ‘Indallâh, Isyfa’lanâ ‘Indallâh.”
Terlalu banyak kotoran yang kita taburkan di rumah Nabi yang mulia. Seperti tertulis dalam sebuah puisi Iqbal. Ketika sakit keras, Iqbal pernah berdo’a: “Ya Allah kalau Engkau adili aku di hari kiamat nanti, jangan dampingkan aku di samping Nabi Al-Musthafa. Karena aku malu mengaku sebagai umatnya padahal hidupku bergelimang dalam dosa.”
Kita sebenarnya harus malu seperti malunya orang kafir itu. Kita datang berziarah kepada Rasul di bulan Maulid ini dengan membawa seluruh kemaksiatan. Kita sudah banyak mengotori rumah Rasul yang mulia dengan akhlak yang tercela. Tapi kita percaya bahwa Nabi mendengar jeritan kita. Kita sadari kejelekan akhlak-akhlak kita dan kita malu bertemu dengan Rasul dengan membawa dosa. Tetapi kita percaya bahwa kita menantikan tepukan tangan Rasul untuk menentramkan batin kita dan mengharapkan syafaatnya.
Sifat ketiga Rasullullah saw, ialah bahwa ia sangat ingin agar kaum muslimin memperoleh kebaikan. Ia ingin memberikan petunjuk kepada umatnya. Keinginan untuk memberikan petunjuk kepada kita begitu besar, sehingga Rasul bersedia memikul seluruh penderitaan dalam berdakwah.
Adapun sifat keempat Rasulullah saw, ialah bahwa ia sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukminin. Menurut para ahli tafsir, belum pernah Allah menghimpunkan dua nama-Nya sekaligus pada nama seorang nabi, kecuali kepada Nabi Muhammad saw. Nama yang dimaksud ialah nama Raûfur Rahîm.
Raûfur Rahîm itu adalah nama Allah. Nama itu pun dinisbahkan Allah kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, Raûfun artinya penyayang dan Rahîm artinya pengasih. Jika kedua kata itu digabungkan dalam satu tempat, maka artinya berbeda. Menurut sebagian ahli tafsir, nama itu berarti sifat Nabi yang penyayang tidak hanya kepada orang yang taat kepadanya, tapi juga penyayang kepada orang yang berbuat dosa. Nabi melihat amal kita setiap hari. Beliau berduka cita melihat amal-amal kita yang buruk.
Dalam riwayat yang lain, Rasul itu Raûfun Liman Râ’ah, Rahîmun Liman Lam Yarâh. Artinya, Rasul itu penyayang kepada orang yang pernah berjumpa dengannya dan juga penyayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengannya. Suatu hari Rasul berkata, “Alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan ikhwânî.” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami ini ikhwânuka.” “Tidak,” jawab Rasul, “kalian ini sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku, tapi membenarkanku dan beriman kepadaku.” Rasul sangat sayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengan Rasul tetapi beriman kepadanya.
Di dalam Tafsir Al-Dûrrul Mantsûr, diriwayatkan sebagai berikut, “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku, padahal tidak pernah berjumpa denganku.” Rasul menye-butnya sampai tiga kali. Rasul juga sayang bukan hanya kepada orang Islam saja, tetapi juga kepada orang kafir.
Saya akan menceritakan hadits lain. Diriwayatkan bahwa ketika Rasul berdakwah di Thaif, Rasul dilempari batu sehingga tubuhnya berdarah. Kemudian Rasul berlindung di kebun Uthbah bin Rabi’ah. Rasul berdo’a dengan do’a yang sangat mengharukan. Rasul memanggil Allah dengan ucapan, “Wahai yang melindungi orang-orang yang tertindas, kepada siapa Engkau akan serahkan aku, kepada saudara jauh yang mengusir aku?” Kemudian datang malaikat Jibril seraya berkata: “Ya Muhammad, ini Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan ini malaikat yang mengurus gunung-gunung, diperintah Allah untuk mematuhi seluruh perintahmu. Dan dia tidak akan melakukan apapun kecuali atas perintahmu.” Lalu malaikat dan gunung berkata kepada Nabi, “Allah memerintahkan aku untuk berkhidmat kepadamu. Jika engkau mau, biarlah aku jatuhkan gunung itu kepada mereka.” Namun Nabi berucap, “Hai malaikat dan gunung, aku datang kepada mereka karena aku berharap mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka orang-orang yang mengucapkan kalimat Lâilâha illallâh.” Nabi tidak mau menurunkan azab kepada mereka. Nabi berharap kalau pun mereka tidak beriman, keturunan mereka nanti akan beriman. Kemudian berkata para malaikat dan gunung, “Engkau seperti disebut oleh Tuhanmu, sangat penyantun dan penyayang.”
Kasih sayangnya tidak terbatas kepada umatnya. Perasaan cinta kita kepada Nabi tidak sebanding dengan besarnya kecintaan Nabi kepada kita semua. Kecintaan Nabi terhadap orang-orang yang menderita begitu besar. Menurut Siti Aisyah, Nabi tidak makan selama tiga hari berturut-turut dalam keadaan kenyang. Ketika Aisyah bertanya apa sebabnya, Nabi menjawab, “Selama masih ada ahli shufah —orang-orang miskin yang kelaparan di sekitar mesjid— saya tidak akan makan kenyang.” Dan itu tidak cukup hanya pada saat itu, Nabi juga memikirkan umatnya di kemudian hari. Beliau khawatir ada umatnya yang makan kenyang sementara tetangga di sekitarnya kelaparan.
Karena itu, Nabi berpesan, “Tidak beriman kamu, jika kamu tidur dalam keadaan kenyang sementara tetanggamu kelaparan.” Nabi pun mengatakan, “Orang yang senang membantu melepaskan penderitaan orang lain, akan senantiasa mendapat bantuan Allah swt.” Empat sifat Rasulullah kepada umatnya, yang sangat luar biasa.
Marilah kita kenang kecintaan Rasulullah yang agung kepada kita dan bandingkanlah apa yang bisa membuktikan kecintaan kita kepadanya. Sekarang kita bertanya, sudah sejauh mana kita mengikuti sunnah Rasulullah saw? Dapatkah akhlak kita seperti akhlak Nabi sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Taubah 128? Bagai-mana kita dapat ikut merasakan penderitaan orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita menjadi orang yang berusaha agar orang- orang lain itu hidup bahagia dan memperoleh petunjuk Allah? Bagaimana kita menumbuh-kan sikap Raûfur Rahîm di dalam diri kita seperti Rasulullah saw contohkan kepada kita?
Marilah kita sebarkan kecintaan kepada Rasulullah saw di dalam diri kita, keluarga kita, dan pada masyarakat di sekitar kita. Akhirul kalam, yang harus selalu kita ingatkan pada diri kita adalah misi Rasulullah yang paling utama, yaitu misi akhlak yang mulia. Tidak ada artinya menisbahkan diri kita kepada Rasulullah saw tanpa memelihara akhlak yang mulia. Hendaknya kita selalu malu untuk mengucapkan shalawat kepada junjungan kita, sementara di punggung kita penuh dengan dosa dan maksiat. Kita telah mengotori rumah Rasulullah saw dengan akhlak buruk kita. ***